sumbarkita.id- Nurani Perempuan Women’s Crisis Center (NPWCC) mencatat 547 kasus kekerasan seksual terjadi di Sumatera Barat sejak 2015 hingga November 2024. Kondisi ini dinilai darurat sehingga menjadi persoalan serius yang membutuhkan perhatian mendesak.
Direktur Nurani Perempuan, Rahmi Meri Yenti, menyebut kasus yang paling banyak terjadi meliputi perkosaan, pelecehan seksual, kekerasan seksual berbasis elektronik, sodomi, dan eksploitasi seksual. Pelaku kekerasan seksual kerap orang terdekat korban.
“Sumatera Barat darurat kekerasan seksual. Perempuan dan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, masih menjadi korban. Situasi ini semakin memprihatinkan karena penanganan kasus belum optimal, meskipun sudah ada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor12 Tahun 2022,” ungkap Rahmi pada aksi 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di kawasan Car Free Day (CFD) Kota Padang, Minggu (8/12).
Rahmi menegaskan, meski UU TPKS telah disahkan pada April 2022, implementasinya di Sumatera Barat masih sangat minim. Dalam kasus yang didampingi Nurani Perempuan selama 2023 hingga 2024, belum ada satu pun kasus kekerasan seksual yang diproses menggunakan UU TPKS.
“Aparat penegak hukum masih enggan menggunakan UU TPKS karena belum lengkapnya peraturan turunan dan minimnya sosialisasi. Akibatnya, mereka lebih memilih UU Perlindungan Anak atau UU ITE dalam menangani kasus, padahal UU TPKS hadir untuk memberikan perlindungan dan pemulihan yang lebih komprehensif bagi korban,” jelas Rahmi.
Dari tujuh peraturan turunan yang diamanatkan UU TPKS, hingga saat ini baru tiga yang disahkan:
Perpres No. 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Terpadu bagi Aparat Penegak Hukum dan Tenaga Layanan Pemerintah.
Perpres No. 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
PP No. 27 Tahun 2024 tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Nurani Perempuan menilai lambatnya implementasi UU TPKS turut memperburuk situasi darurat kekerasan seksual di Sumatera Barat.
“Kita butuh komitmen bersama dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat untuk mengoptimalkan UU TPKS. Jika aparat tidak menggunakan UU ini, maka korban tidak mendapatkan keadilan dan pemulihan yang seharusnya mereka terima,” tambah Rahmi.
Sebagai lembaga yang mendampingi korban, Nurani Perempuan berharap sosialisasi UU TPKS dan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dapat segera dilakukan secara masif. Dengan demikian, kasus kekerasan seksual di Sumatera Barat dapat ditangani dengan serius, memberikan efek jera bagi pelaku, serta memastikan pemulihan bagi korban.
“Kami menyerukan kepada semua pihak, terutama penegak hukum, untuk memprioritaskan kepentingan korban. Kekerasan seksual bukan hanya masalah hukum, tetapi juga krisis kemanusiaan yang harus segera diatasi,” tutup Rahmi.
sumber