TRIBUNPADANG.COM, PADANG – Perempuan rentan menjadi korban kekerasan berbasis gender online (KBGO). Seperti halnya kekerasan berbasis gender atau seksual di dunia nyata, pelaku KBGO melakukan tindakan melecehkan korban via elektronik. Korban dibuat tertekan, merasa stres, trauma, hingga merasa tidak berdaya bahkan berniat mau bunuh diri. Kondisi ini nyata dirasakan Bunga (bukan nama sebenarnya) salah seorang mahasiswa semester enam di salah satu Kampus di Kota Padang. Pada Maret 2024, Bunga mendatangi kantor WCC Nurani Perempuan, salah satu lembaga yang konsen terhadap perempuan yang berpusat di ibu kota Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), Kota Padang. Bunga memberani diri datang seorang diri, meminta bantuan dan perlindungan.
Bunga bercerita kejadian bermula saat ia masih kelas 2 Sekolah Menengah Atas (SMA). Saat itu, Ia berkenalan dengan seseorang di media sosial. Mereka mulai chat biasa, ngobrol yang menyenangkan. Lama-kelamaan, pelaku mulai mengirimkan foto dan video vulgar. Bunga seakan dihipnotis sehingga mengirimkan juga foto-foto terbuka. Dengan foto tersebut, ia diancam untuk melakukan video calling sex. Saat menolak, Bunga berulang kali diancam bahwa foto-foto dan video terbuka miliknya akan disebar ke media sosial dan keluarga. Bunga terpaksa terus menuruti keingin pelaku. Kondisi yang dialami Bunga ini seperti lingkaran setan, membuat dia tertekan dan putus asa.
Melihat kondisi tersebut, WCC Nurani Perempuan merujuk, agar Bunga mendapatkan pendampingan psikolog. Serta menyarankan Bunga untuk memblokir pelaku dan tidak bermedia sosial apapun lagi. Kalau butuh untuk chatting di whatsapp, maka ganti dengan nomor telepon baru.
“Secara psikologis, ia dalam kondisi yang memang terganggu kesehatan mentalnya, ada niatan ia mau bunuh diri,” kata Rahmi Meri Yenti, pendamping korban yang juga Direktur WCC Nurani Perempuan, Kamis (6/6/2024).
Dalam undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) KBGO dikenal disebut dengan kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE). Pelaku KBGO bukan hanya orang lain di media sosial, namun orang terdekat. Kasus yang dialami Mawar (bukan nama sebenarnya) misalnya pelaku adalah pacarnya sendiri. Kejadian bermula pada Desember tahun 2020 yang lalu. Mawar bersama sang pacar sempat check in disalah satu hotel di Pekanbaru. Saat itu, pelaku mengambil video tanpa sepengetahuan Mawar. Video Mawar mengenakan dalaman atas tertutup dan bawahan yang panjang tersebutlah yang digunakan pelaku sebagai senjata. Pelaku lantas meminta Mawar mengirimkan foto dan video tak senonoh. Bila tak mau, diancam video itu akan disebarkan. Dengan video tersebut, Mawar juga dipaksa melakukan hubungan seksual dengan pelaku.
“Terjadi check-in kurang lebih terjadi 14/15 kali yang dengan berat hati saya penuhi demi menjaga nama baik diri saya dan itu 2 tahun lamanya saya makan sendiri,” kata Mawar pada Juni 2023 lalu.
Mawar akhirnya tak tahan dengan hubungan tersebut. Ia memilih untuk mengakhiri hubungannya pada 2023. Video dan foto tak senonoh miliknya lalu disebarkan pelaku ke orang tua Mawar dan teman-temannya. Keluarga melaporkan ke Kepolisian dan cerita Mawar viral di media sosial. Beruntung pelaku Panji Adinul Hakim (24), pria asal Sumatera Barat (Sumbar) tersebut berhasil ditangkap Polresta Pekanbaru pada Juli 2023.
Tidak hanya Bunga dan Mawar, sepanjang 2020 sampai 2023, laporan KBGO yang diterima WCC Nurani Perempuan terjadi sebanyak 37 kasus. Kasus ini melonjak pasca covid-19, tahun 2020 mencapai 17 kasus yang dilaporkan. Ibarat fenomena gunung es, kasus KBGO yang mencuat ke permukaan masih sedikit. Hal ini dikarenakan adanya stigma negatif yang menyelubungi. Para korban memilih berdiam diri dan enggan melakukan pelaporan. Bahkan untuk menceritakan pada orang terdekat, korban merasa malu, karena alih-alih mendapatkan dukungan, korban terkadang malah di stigma negatif.
“Korban itu baru datang ke WCC Nurani Perempuan setelah merasakan kerugian yang besar, barulah ia mau menceritakan kejadian. Saat diajak untuk melapor ke kepolisian, korban perempuan dewasa banyak yang tidak mau, merasa malu,” kata Rahmi Meri Yenti.
Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan, sepanjang 2023 terdapat 1.272 kasus KBGO atau dikenal dengan istilah kekerasan siber berbasis gender. Data SAFEnet tahun 2024, terdapat 1.052 aduan kasus KBGO. Jenis yang mendominasi Image-Based Sexual Abuse (IBSA), yakni penyebaran foto atau video yang mengandung konten seksual tanpa persetujuan.
Tidak hanya itu, KBGO juga meliputi flaming, yakni pengiriman spam pesan berisi pelecehan atau penghinaan. Sextortion bentuk tindakan menyalahgunakan kekuasaan atau mengancam untuk mendapatkan keuntungan seksual. Non Consensual Intimate Image (NCII), yakni tindakan menyebar konten intim berupa gambar atau video tanpa persetujuan korban. Lalu cyber flashin, tindakan mengirim atau merekam gambar dan video alat kelamin dan tindakan seks secara online tanpa persetujuan. Serta trolling sengaja membuat orang lain kesal dengan mengunggah konten yang menghasut.
Masih data SAFEnet tahun 2024, korban KBGO kebanyakan berusia rentang 18-25 tahun sebanyak 562 kasus, disusul usia 12-17 tahun sebanyak 230 kasus dan berusia 36-45 tahun sebanyak 125 kasus, lalu usia 36-45 tahun.
Direktur WCC Nurani Perempuan Rahmi Meri Yanti juga menyampaikan, korban KBGO kebanyakan siswa SMA dan mahasiswa. Meskipun begitu perempuan dewasa pun rentan menjadi korban KBGO. WCC Nurani Perempuan sempat mendampingi perempuan single parent yang jadi korban KBGO. Saat itu, seseorang dengan foto profil prajurit TNI menchat dan mengajak korban kenalan.
Pelaku memberikan perhatian pada korban, iming-iming korban dengan hubungan yang sehat. Korban terbuai dan malamnya terjadilah video call sex. Tanpa disadari pelaku merekamnya. Paginya korban diancam, dan pelaku memeras uang korban sampai ratusan ribu.
“Kalau perempuan dewasa, biasanya pelaku mengincar uang korban,” kata Rahmi.
Kenali Modus Pelaku KBGO
Kepala Divisi Kesetaraan dan Inklusi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Aseanty Pahlevi menyampaikan KBGO bagian dari serangan digital. Bentuknya beragam, bisa terjadi kapan saja sepanjang hari tanpa mengenal waktu. Pelakunya bisa dari mana saja, dan tujuan serangan bisa apa saja.
“Makin tak terlihat makin bahaya, dan dampaknya tidak bisa diukur serta bentuk serangannya beragam” ,kata Aseanty Pahlevi saat menjadi narasumber Pelatihan Pengenalan KBGO untuk Jurnalis, pada Sabtu (11/5/2024).
Aseanty Pahlevi juga menjelaskan KBGO merupakan pelanggaran hak-hak digital, melibatkan teknologi digital, mengancam rasa aman korban, melanggar privasi, merendahkan derajat dan martabat korban. KBGO dimulai dari tidak memahami mengenai consent (persetujuan) dan terjadi pelanggaran privasi. Maksudnya tindakan mengakses, menggunakan, memanipulasi dan menyebarkan data pribadi, foto atau video, serta informasi dan konten pribadi tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan.
“Modus yang dilakukan pelaku juga dengan cara pelanggaran digital seperti Video Call Seks (VCS), balas dendam, manipulasi hubungan, grooming atau pendekatan manipulatif dan rekrutmen online,” katanya.
Menurut Rahmi, biasanya pelaku akan mendekati korban dengan cara berkenalan melalui media sosial. Dilanjutkan dengan komunikasi intens, pelaku mengiming-imingi kebahagian dan jadi teman dekat korban.
Kemudian pelaku akan mengajak korban untuk melakukan video call. Pelaku juga akan membujuk korban agar memperlihatkan bagian tubuh intim korban.
Pada saat itulah pelaku melakukan tangkapan layar ataupun merekam layar korban yang dijadikan sebagai bahan untuk mengancam korban guna menuruti permintaan pelaku.
Motif pelaku beragam mulai dari untuk memenuhi kebutuhan seksual hingga melakukan pemerasan terhadap korban dengan ancaman foto dan video vulgar korban akan disebarkan jika korban tidak menuruti kemauan pelaku.
Beberapa kasus KBGO terjadi juga dengan modus tiba-tiba pelaku mengajak video call, terus korban mengangkat, ternyata pelaku sudah memperlihatkan alat kelaminnya. Kemudian pelaku mengscreenshot, korban diperlihatkanlah foto hasil screenshot tersebut, kemudian korban diancam, jika keinginan pelaku tidak dituruti, maka akan disebarkan seolah-olah korban pelaku video calling sex.
“Kalau relasinya pacaran, biasanya korban juga ditekan sehingga terjadi pemaksaan hubungan seks,” kata Rahmi.
Pembuktian Hukum Kasus KBGO Sulit Dilakukan
Rahmi menyampaikan, proses hukum KBGO masih terkendala dalam pembuktian. Terutama korban KBGO yang tidak mengenali pelaku korban secara fisik, tidak diketahui dimana tempatnya, tidak punya foto pelaku yang jelas. Jika pelaku tidak diketahui identitasnya, biasanya Kepolisian pun akan sulit melacak pelaku. Kalaupun bisa melacak, misalnya nomor pelaku, hanya bisa diketahui posisi pelaku secara umum saja, misalnya pelaku di Sumbar, sementara Sumbar itukan luas.
“Hal-hal seperti itu kadang yang membuat kepolisian, berat dan sulit untuk menindaklanjuti,” ujar Rahmi.
Disamping itu, kasus KBGO baru bisa jadi laporan polisi, apabila pelaku sudah menyebarkan foto dan video vulgar korban.
Rahmi mengatakan, jika pelaku baru mengancam akan menyebarkan, polisi tidak bisa memproses kasus tersebut. Polisi akan meminta, mana bukti disebar. Namun kondisinya, saat pelaku sudah pernah menyebarkan ke korban, karena malu dan khawatir, korban menghapus dan pembuktian di Kepolisian menjadi sulit.